Memaknai Tahun Baru dengan Semangat Perkuat Ukhuwah

Baru saja Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Banda Aceh mengeluarkan seruan bersama dan imbauan kepada seluruh elemen masyarakat agar tidak merayakan pergantian tahun baru masehi.

Menyikapi seruan bersama tersebut dari dulu terlihat ada sejumlah pihak yang kontra, begitu juga sekarang, yakni jelang pergantian tahun 2023-2024, ada segilintir orang yang masih mempersoalkan, bahkan sengaja “melagakan” pernyataan ulama Aceh yang mengatakan boleh saja merayakan asal tidak jatuh dalam sejumlah perkara yang dilarang dalam islam dan tidak bertentangan dengan kearifan lokal.

Isu akhir tahun itu, memang masih saja terjadi, terutama dari sejumlah orang yang ingin melakukan secara khusus acara pergantian tahun.
Dari itu, saya merasa terpanggil untuk sedikit membuat “catatan” barangkali jadi bahan pertimbangan bagi pembaca.

Catatan Pertama, Tausiah MPU Aceh menitikberatkan pada hukum asal kebolehannya salama tidak jatuh dalam sejumlah perkara yang dilarang dalam islam dan tidak bertentangan dengan kearifan lokal.
Adapun seruan bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Banda Aceh menitikberatkan pada sejumlah larangan dan anjuran.

Adapun larangan,
Poin pertama, Kepada warga Kota Banda Aceh agar pada malam pergantian tahun baru Masehi 1 Januari 2024, tidak melakukan perayaan apapun baik di tempat terbuka maupun tempat tertutup seperti pesta kembang api, mercon/petasan, meniup terompet, balap-balapan kendaraan dan permainan/kegiatan hura-hura lainnya yang tidak bermanfaat serta bertentangan dengan Syariat Islam dan adat istiadat Aceh.
Poin Kedua, Dilarang memperjual belikan, membakar petasan/mercon, kembang api, terompet atau sejenisnya.

Sementara anjuran,
Adapun keempat tentang seruan memperkokoh persatuan dan kesatuan serta kerukunan umat beragama guna memelihara perdamaian, keamanan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Sementara kelima seruan meningkatkan kepedulian dalam menegakkan syariat Islam dengan tidak melakukan berbagai kegiatan yang melanggar peraturan perundang- undangan dan qanun syariat Islam, serta menjaga jati diri warga Kota Banda Aceh yang bersyariat. menghormati dan membantu demi tercapainya ketertiban serta keamanan di masyarakat.

Artinya, Seruan Bersama (SB) ini bersifat mengikat dan memperkuat sejumlah aturan yang ada. Dan hanya di serukan kepada umat islam. Adapun Natal dan Tahun Baru (Nataru) bagi non muslim, tetap sebagaimana mestinya, tidak ada kendala dengan SB itu.

Catatan Kedua, Memang, jika kita cermati tingkah polah muda-mudi bahkan juga segelintir orang yang tidak muda lagi (kalau tidak mau dibilang tua) merayakan pergantian tahun baru banyak aktifitas yang dilarang dalam agama islam, contoh membuang-buang harta dengan cara membakar mercon dan kembang api dalam jumlah besar. Bercampur ikhlilat bersama lawan jenis tanpa mahram di pukul 00.00, bahkan ada yang sampai dini hari. Bahkan, semoga saja tidak terjadi lagi, ada berujung ke “ngamar” dan mabuk-mabukan. Semua itu bukanlah budaya kita Aceh (kearifan lokal), sekalipun lumrah terjadi bak awak blahdeh laot (Red. Barat).

Memaknai Tahun Baru dengan Semangat Perbaikan Diri

Catatan ketiga, Semestinya selaku muslim, memaknai tahun baru dengan semangat perbaikan diri, dari mana kita berasal, sedang dimana kita berada dan kemana kita akan kembali?

Dan seyogya di akhir tahun kita merefleksikan kalam manusia agung sang pembawa risalah di bawah ini,

“Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).” (HR Al-Hakim).
Bukan malah berhura-hura dan perbuatan sia-sia lainnya.

Begitu juga firman Allah Pencipta Alam Semesta yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Surat Al-Hasyr ayat 18).

Catatan Keempat dan Penutup

Benarlah kata ulama, At-ta’-yii-nu bil-‘ur-fi kat-ta’-yii-ni bin-nash, artinya Sesuatu yang telah ditetapkan dengan adat-kebiasaan itu sama dengan yang telah ditetapkan dengan nash.Artinya agama islam dan adat istiadat Aceh sudah bagaikan zat dan sifeut (terikat), tidak bertolak berlakang, hanya segelintir orang saja yang sengaja melawan kebiasaan yang ada dengan mencoba membudayakan budaya import.

Saya tutup dengan mengutip Kalam petuah ulama Aceh, Al-‘aadatu muhakkamah, Adat itu mempunyai kekuatan hukum.

*Penulis adalah Kabid Dakwah Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh (Irwanda, S. Ag)